Ekonomi di Indonesia



Indonesia adalah negara yang memiliki potensi ekonomi yang besar. Sebuah potensi yang belum luput dari perhatian masyarakat global. Indonesia - Ekonomi terbesar di Asia Tenggara - mengandung sejumlah karakteristik yang menempatkan negara ini pada posisi yang bagus untuk pengembangan ekonomi yang baru. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir ada dukungan kuat dari pemerintah pusat untuk mengekang ketergantungan tradisional Indonesia terhadap ekspor komoditas (mentah), sekaligus meningkatkan peran industri manufaktur dalam perekonomian. Pembangunan infrastruktur juga merupakan tujuan utama pemerintah, dan salah satu yang harus menyebabkan multiplier effect dalam perekonomian.
Indonesia sering disebut sebagai kandidat yang tepat untuk dimasukkan ke negara-negara BRIC (Brasil, Rusia, India dan China). Satu set negara berkembang lainnya - yang dikelompokkan berdasarkan singkatan CIVETS (Kolombia, Indonesia, Vietnam, Mesir, Turki dan Afrika Selatan) - juga mendapat perhatian karena anggotanya memiliki sistem keuangan yang cukup canggih dan populasi yang tumbuh cepat. Beberapa tahun yang lalu, produk domestik bruto (PDB) gabungan CIVET diperkirakan akan mencakup setengah dari ekonomi global pada tahun 2020. Namun, sejak pelambatan ekonomi global yang berkepanjangan setelah 2011 kita jarang mendengar istilah BRIC dan CIVETS lagi.
Contoh penting lain dari pengakuan internasional mengenai ekonomi Indonesia adalah peningkatan peringkat kredit baru-baru ini oleh perusahaan jasa keuangan internasional seperti Standard & Poor's, Fitch Ratings dan Moody's. Pertumbuhan ekonomi yang kuat, hutang pemerintah yang rendah dan pengelolaan fiskal yang hati-hati telah dikutip sebagai alasan untuk upgrade dan merupakan kunci dalam menarik arus masuk keuangan ke Indonesia: baik arus portofolio maupun investasi langsung asing (foreign direct investment / FDI). Aliran masuk FDI ini, yang relatif lemah untuk Indonesia selama dekade ini setelah Krisis Keuangan Asia telah benar-benar mengguncang fondasi negara tersebut, menunjukkan peningkatan yang tajam setelah krisis keuangan global 2008-2009 (meski agak melemah setelah tahun 2014 karena Perlambatan ekonomi Indonesia yang berkepanjangan di tahun 2011-2015).
Meskipun Indonesia ingin mengurangi ketergantungan tradisionalnya pada ekspor komoditas mentah dan mendorong industri manufaktur (misalnya melalui Undang-Undang Pertambangan Baru tahun 2009), ini adalah jalur yang sulit, terutama karena sektor swasta tetap ragu untuk berinvestasi. Transformasi ini penting karena turunnya harga komoditas setelah 2011 (yang merupakan akibat dari mengesampingkan pertumbuhan ekonomi China) telah berdampak secara drastis terhadap Indonesia. Kinerja ekspor Indonesia melemah secara signifikan, menyiratkan lebih sedikit pendapatan devisa dan berkurangnya daya beli masyarakat, sehingga menyebabkan perlambatan ekonomi.
Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Joko Widodo (yang dilantik sebagai presiden ketujuh di Indonesia pada bulan Oktober 2014) telah menerapkan beberapa reformasi struktural yang bertujuan untuk pertumbuhan jangka panjang namun menyebabkan beberapa rasa sakit jangka pendek. Misalnya, sebagian besar subsidi bahan bakar telah berhasil dihapus, sebuah pencapaian yang luar biasa (karena pemotongan subsidi BBM selalu menyebabkan kemarahan di kalangan penduduk) dibantu oleh harga minyak mentah dunia yang rendah. Selain itu, pemerintah menempatkan prioritas tinggi pada pembangunan infrastruktur (dibuktikan dengan meningkatnya anggaran infrastruktur pemerintah) dan investasi (dibuktikan dengan deregulasi dan insentif fiskal yang ditawarkan kepada investor swasta).

Comments

Popular posts from this blog

Tarian India

The Negative Effects of Video Game Addiction

Business English